Minggu, 01 Mei 2011

,,,,

untuk apa kita berjalan jika tak lagi tahu tujuan
ucap ikhlas di bibirmu hatimu tak demikian
percuma banyak ku jelaskan pasti kau berkata nyata yang terlihat sedemikian
biar-biarlah kupendam semua yang ada jadi kistal, tak perlu orang tahu aku tengah berlakon dalam panggung lautan...
bilapun ku lelah mungkin kan tenggelam...






Selasa, 19 April 2011

Bulan

Aku tak percaya lagi pada malam yang kan setia pada bulan
memberi cahaya hingga bulan bersinar tiada lagi temaram
jutaan bintang tlah menemani malam menghias pekatnya
memberi arah yang pasti
kerlap kerlipnya menyilaukan  hingga bulan menghilang di balik awan

Jumat, 01 April 2011

Rumah Impian


Rumah Impian

            "Ria, tadi teman ayah telpon, dia mau jual rumahnya, letaknya di pertigaan jalan Kencana. Luas tanahnya 200 meter, bangunannya 2 lantai, harganya pun 200 juta tapi masih damai. Mereka jual karena butuh uang, orang tua pak Maksum sakit keras dan membutuhkan biaya yang besar. Bagaimana menurutmu?" nanti deh yah, aku lihat-lihat dulu rumahnya". Ayahku sangat paham keinginanku memiliki rumah selama beberapa tahun ini. Uang tabungan yang kami kumpulkan belumlah seberapa  jumlahnya  untuk mewujudkannya. Aku hanya seorang karyawan honorer di sebuah insitusi pendidikan yang gajinya hanya cukup untuk membeli sebulan  susu untuk anakku. Sedang mas Deni pekerjaanya tidak tetap gajinya hanya cukup buat operasional dan uang makan kami.
Ke esokan harinya aku bersama mas Deni mencari alamat yang ayahku maksudkan."Dekat perkantoran ? mana sih? kok gak ada ? 1, 2, 3 hmm... semua ruko yang berjajar tinggi". Mas lihat gak rumah yang ayah bilang?” gak tuh dek..
" Wah gimana nih ayah, alamat rumah temannya gak jelas begini, palsu mungkin. Tanda- tandanya pun gak ada ya?... "
"ya, gimana dek, mau kita lanjutkan yang ketiga kali muternya?"
udahlah mas, pusing kepalaku..kita pulang saja.."
Setiba di rumah aku lihat ayah tengah mengelap motor kesayangannya,.."Yah, gimana ini alamatnya gak jelas, aku sama mas Deni udah tiga kali muterin jalan itu tapi gak ketemu juga? salah mungkin yah?"
" masak sih, ayah memang belum pernah kesitu, gak mungkinlah teman ayah bohong. “Ya sudah nanti ayah hubungi lagi pak Maksumnya." Kulihat ayah langsung menuju telepon rumah yang terletak di  sudut ruang keluarga.
" Assalamualaikum pak Maksum ?”
“Saya Nandi..begini pak tentang pembicaraan tempo hari mengenai rumah bapak bagaimana? apa sudah ada peminatnya?.."
"Sampai saat ini yang melihat-lihat banyak pak,tapi belum ada yang cocok."
“Maaf pak Maksum, tadi anak saya hendak melihat , tapi tidak ketemu rumah bapak? apa alamat yang saya tulis salah ya? tolong pak sebutkan lagi?"
" Oh ia, Jalan kencana nomor 2b, samping kanan kirinya ruko.
“begitu ya, ya terimakasih nanti saya akan sempatkan melihatnya bersama anak saya. Assalamualaikum”.
            Sesuai dengan yang disepakati, ayah mengajakku pergi ke rumah pak Maksum kawan lamanya. “Nah itu rumahnya Ria?”  “ha, mataku terbelalak begitu mudahnya ayah menemukannya padahal, sepertinya kemarin gak ada rumah di sini selain ruko. “ “Bagaimana Ria kamu suka? “ aku hanya mengangguk.” ya klo begitu kita mampir ya?”. Hatiku bertanya-tanya tapi kuikuti saja langkah ayah. Nomor 2b, tertulis di pintu pagar rumah bercat putih yang sudah mulai kusam . Tampak pohon belimbing dan pohon jambu, yang menutupi halaman yang tak seberapa luas, membuat rumah itu terlihat gelap.
“Assalamualaikum?” Walaikum salam” jawab penghuni rumah, kulihat seorang ibu paruh baya berkerudung krem membukakan pintu dengan wajah  yang ramah. “ O, pak Nandi silahkan masuk....”. Ketika ku masuk kulihat sosok nenek yang sedang duduk di atas sebuah ranjang yang teronggok di ruang keluarga mereka, tampak pucat namun semangat masih menghias di wajahnya. Mungkin itulah orang tua pak Maksum yang sedang sakit keras pikirku dalam hati. Nenek itu sempat memberiku seyum, kubalas dengan seyum dan anggukanku. Si Empunya rumah mempersilahkan kami duduk di ruang tamu, tak lama pak Maksum datang. Ayah terlibat pembicaraan empat mata yang serius, lalu kuputuskan melihat-lihat keluar rumah. Bu Maksum mengajakku berkeliling rumahnya. Ia sempat bercerita ibunya harus cuci darah seminggu dua kali dan sekali cuci darah membutuhkan dana lima ratus ribu rupiah belum lagi obat-obatnya. Ginjalnya sudah rusak tidak bisa diobati lagi, cuci darah hanya menggatikan fungsi sementara ginjalnya. Setelah itu ia masuk  karena ibunya memanggil. Aku salut pada keluarga pak Maksum rela menjual harta satu-satunya demi orang tua mereka. Wujud cinta yang luar biasa.
Ketika di luar rumah aku heran, sebelah kanan rumah ada ruko berlantai 5 berwarna krem yang terlihat sangat modern, sebelah kiri  ada ruko bergaya Eropa minimalis bercat pink berlantai 7. Mengapa rumah ini di antaranya? berlantai dua putih kusam, lelehan hujan tampak di dinding tembok-temboknya, sangat terlihat tidak terawat, menambah kesan remang dan gelap.  Di sudut halaman terdapat kolam ikan berukuran kecil yang tak lagi berpenghuni. Hanya anyaman laba-laba mengiasinya. Di pintu pagar digatung papan bertuliskan rumah ini di jual hubungi nomor 08596352454 dengan tulisan cat merah yang meleleh.Tiba-tiba ayah menepuk pundakku, “ayo kita pulang, sudah diil”. “apa ayah? diil, uang dari mana?” tenang saja” jawab ayah meyakinkan..Ntah dari mana uangnya, ayah membeli rumah itu.
            Di rumah, ayah langsung menghitung uang yang akan diserahkan ke pak Maksum 184 juta. dengan wajah sumringah ayah berkata, kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin, kapan lagi ada rumah harganya bagus gini. Aku hanya tersenyum yang mengandung tanya. Aku berusaha menelisik mencari tahu kepada ibu, kata ibuku ayah punya sedikit tabungan tapi selebihnya ia pinjam uang di bank. Aku merasa bersalah pada ayah di hari tuanya dia masih memikirkanku yang harusnya sudah tanggung jawab mas Deni, suamiku. Tanggung jawabnya sudah selesai dihari ia menikahkanku, tapi begitu besar cintanya beliau tak rela melihatku seperti sekarang ini.
            Minggu pagi, kami langsung bergegas bermaksud melunasi pembayaran rumah. Ternyata mereka sudah siap pergi hanya menunggu kami. Ku masuki ruang-ruangnya satu persatu. Kudapati kamar berukuran panjang bercat putih kusam, ada kamar mandi di dalamnya sudah tak berpintu ruangnya tak berkeramik hanya warna alami semen, terasa dingin ketika ku mendekatinya. Buat bulu kukukku berdiri. Berikutnya ku selusuri sebuah pintu, ada lorong kecil berkelok-kelok tembus pintu ke pintu lagi. Aku menarik napas panjang ... akhirnya kutemu sebuah kamar untuk pembantu sepertinya yang memiliki 2 pintu langsung menghubung ke dapur. Ketika membuka pintu ke tiga aku hampir terjatuh ternyata tak ada batas apapun, ruang itu langsung lepas landas ke lantai satu. Dad dig dug jantungku mulai tak karuan, mengapa ada rumah model seperti itu. Aku berusaha lekas pergi hendak turun namun lantai yang aku injak pun lapuk, Krekkk bruuuuk....terperosok jatuh sebelah kakiku menggantung ke bawah, “Ayah! teriakku minta tolong”...Ayah muncul dari balik pintu berusaha menarik tanganku...
            Tok..tokkk kreeek suara pintu dibuka “Ria sudah siang, bukannya kamu kerja”. Ku buka mata, kepalaku pusing. Ibu membangunkanku. Ternyata aku hanya bermimpi, Ayahku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Mimpi itu begitu nyata.

Senin, 28 Maret 2011

Sebuah Peron Stasiun





Ku duduk di peron sebuah stasiun kesukaanku,

sembari menghitung-hitung waktu,
menatap detak detik itu
Anganku terbang bersama mimpi yang hendak kita labuh, sebuah negeri antah yang cuma kita..
Pondok mungil hijau ungu bertabur bunga, dihias cinta, diselimuti kasih
naungan kita mengukir segala-gala
menyemai benih, hingga memetiknya
merawatnya tumbuh sampai tutup usia

Suara menderu melaju... memanggil, menghenyak lamunanku
kereta pertama telah lalu, namun tanpamu
aku hanya tersipu tapi tak ragu karena cintamu selalu menguatkanku

Anganku mulai tak tentu, menyelinap relung-relung sukma penantian

Akan kulukis dinding-dinding pondok hijau ungu dengan tinta waktu perjalanan kita yang semanis madu hingga pahit selayaknya empedu..
Tiap waktu akan kusapa kau dengan senyuman, meracik sajian kesukaanmu
menjamu di ruang itu melahap puncaknya penuh selera



deru kembali melaju, hatiku mulai tak tentu debarannya terus memburu
Aku yakin Kau.....
Kau akan menjemputku
Ku akan melihat cerah wajahmu, menyapaku dengan senyuman yang meneduhkan
menghampiri penuh kehangatan, mengulurkan tangan, memegangku erat tak terpisahkan selalu....

"Ayo Sayang kita labuhkan impian kita" (kata mu)


Aku berhambur, terkesiap bangkit hendak menyambut kereta kedua
namun derunya makin hilang ditelan bayang
tertundukku layu membisu?

Kembali ku duduk di peron stasiun kesukaanku menunggu waktu
Tak sadar ternyata orang di sekitarku memandangku penuh selidik sembari berbisik
menelisik...
Aku hanya menebar seyum manis yang getir tiada guna nyinyir
membuang pandang yang menerawang berupaya membunuh sepi sunyi sendiri


Kucari pesan-pesanmu ditumpukan puisimu

" Tetaplah menungguku di peron stasiun kesukaanmu, hitung bebatuan ganjalan rel dan ikuti liukannya di setiap kelokan kelak kau akan tahu. Aku telah usai menyiangi rerumputan . Sabarlah jangan wasangka. Aku nujumu.."

Hati teduh membaca pesanmu gerimispun luruh di wajahku

Kereta ketiga akan melintas, ku menatap cemas, debar jantungku makin memburu waktu
kali ini harus ada kau,..tahukah? hatiku galau.. aku lelah menantimu..
namun ku masih di sini di peron stasiun kesukaanku setia pada waktu...
menunggumu, menantimu menjemputku memberikan sekuntum ketulusan dan kesucian cintamu lewat mawar putih kesukaanku nuju impian yang hendak kita labuh....

Jumat, 25 Maret 2011

Ini Rumah Mungilku...

Mawar Putih

               Aku suka mawar putih karena mawar  putih, melambangkan kesucian, kemurnian, kerendahan hati , penghormatan, ketulusan cinta dan peduli dengan orang lain. Aku berharap  bisa menjadi seperti makna dari bunga  itu. Juga selalu berharap ada seseorang yang mencintaiku   memberiku satu mawar putih  dengan senyumannya yang indah, terlebih dari itu ia pun memaknai apa arti bunga yang diberikannya,..hingga saat ini itu cuma impian...

Nyatanya


Seribu hari tlah lalu nyatanya kita belum juga mampu
menjaga rasa agar selalu ditempatnya
mengendalikan gejolak emosi membara
masih saja berulang melakukan keliru yang sama

Entah dititik mana akhirnya kita bisa melerai perbedaan
memadu,merangkai, menata, mengikat, menyatu sejalan
tanpa aral kendala di antara jarak... ruang....waktu..